Keadaan seperti di atas tidak hanya terjadi pada masyarakat sekuler saja, karena kenyataannya banyak anak-anak Tuhan, orang-orang yang percaya kepada Tuhan yang adil, mencari keadilannya sendiri. Bahkan tidak jarang, manusia bertindak seperti Tuhan, merasa apa yang dipikirkannya adalah yang terbaik dan paling adil. Publik dapat membenarkan bahkan bersifat permisif terhadap tindakan mencari keadilan hingga pada taraf “menaruh tangan atas” atau “menyentuh” hidup seseorang.
Daud telah menghadapi pergumulannya menghadapi Saul yang tidak berlaku adil kepadanya, bahkan ingin membunuhnya. Ketika ia mendapat kesempatan untuk mencari keadilannya, Ia tidak menjamah Saul (I Sam. 24:11), tidak berani menjadi hakim dalam ketidak-adilan yang dihadapinya. Dia mengijinkan Tuhan yang menjadi hakim di antara dirinya dengan Saul. Dia ingin agar tangannya tetap bersih dari melakukan kejahatan. Bertindak sendiri dalam mencari keadilan dapat menjadi kejahatan dan noda yang mengotori tangan yang telah disucikan. Dalam kesadaran ia mengatakan, “Tuhan kiranya menjadi hakim di antara aku dan engkau, Tuhan kiranya membalaskan aku kepadamu, tetapi tanganku tidak akan memukul engkau… Tuhan kiranya menjadi hakim yang memutuskan antara aku dan engkau; Dia kiranya memperhatikannya memperjuangkan perkaraku dengan memberi keadilan kepadaku dengan melepaskan aku dari tanganmu” ( I Sam 24:13, 16). Daud tetap mempunyai tuntutan pemenuhan kebutuhan akan keadilan bagi dirinya, namun ia tidak mencarinya sendiri melainkan mengijinkan Tuhan yang akan memperjuangkan perkaranya. Hingga drama kehidupannya saat itu, Daud telah mampu menghadapinya dengan benar.
Perjalanan hidup telah membawa Daud kepada pengalaman yang lain setelah kematian Samuel. Pengalaman yang telah dijalaninya dengan kemenangan masih menghadapi ujian di kesempatan lain pada saat ia harus berhadapan dengan Nabal yang bebal. Apakah menghadapi orang yang berbeda, dengan kasus yang pada prinsipnya sama, ia harus berlaku sama? Lihatlah reaksi Daud pada saat mendengar laporan anak buahnya. “Kamu masing-masing sandanglah pedang! … Daud sendiripun menyandang pedangnya. (I Sam 25:13) Daud tadinya telah berkata: ‘Sia-sialah aku melindungi segala kepunyaan orang ini di padang gurun… ia membalas kebaikanku dengan kejahatan. Beginilah kiranya Tuhan menghukum Daud, bahkan lebih dari pada itu…’” (I Sam 25:22). Sungguh berbeda sikap Daud ketika menghadapi Nabal. Namun, yang menjadi pertanyaannya adalah apakah sikap itu tepat dan benar? Mencari keadilannya sendiri dapat menjadi bukti bahwa Daud sedang tidak mencegah apa yang Tuhan sendiri berusaha untuk menghindarkan daripadanya; melakukan hutang darah dan bertindak sendiri dalam mencari keadilan. Perkataan Abigail berisi hikmat Allah, karena Daud sedang melakukan perang Tuhan dan tidak ada yang jahat terdapat pada dirinya selama hidupnya (I Sam 25:28b, 30-31). Namun, dalam permohonannya kepada Daud, perkataan Abigail telah mencegah Daud dari berbuat jahat. Daud menyadari dan mengakui kebijakan Abigail dalam usahanya untuk menahan Daud dari hutang darah dan dalam mencari keadilannya sendiri (I Sam 25:32-33). Apakah kebijakan itu hanya merupakan hikmat Abigail atau merupakan cara Tuhan untuk menghindarkan Daud dari perbuatan jahat?
Apakah Tuhan perduli dengan kejahatan yang dilakukan oleh orang yang tidak adil atau oleh orang mencari keadilan? Kenyataan dalam kisah Daud ini telah membuktikan bahwa Tuhan perduli dan Dia bertindak. Dialah satu-satunya hakim yang benar. Dia ingin menghindarkan orang benar dari berbuat kejahatan dalam mencari keadilan, namun Dia tetap menegakkan keadilan dan tidak berdiam diri. Bolehkah kita mencari keadilan? Jawabnya boleh, namun tidak mencari keadilan kita sendiri, apalagi sampai “menodai tangan”. Bawalah kasus kita ke dalam pengadilan Tuhan, ijinkan Tuhan yang menjadi pembela kita dan mencegah kita dari berbuat jahat ( I Sam. 25:39). Percaya bahwa Tuhan akan bertindak. Keadilan Tuhan akan semakin dirasakan apabila Tuhan bertindak dalam keadilan-Nya untuk membela kita dan menjaga hidup kita tetap bersih dari kejahatan.
Pengalaman Daud dengan hikmat Abigail dalam kasus Nabal telah menjadi salah satu pengalaman yang mendahului kemenangan-kemenangan Daud dalam menghadapi ketidak adilan yang dialaminya, baik yang dilakukan oleh Saul maupun Absalom (I Sam.26-31; II Sam) Bahkan pengalaman hidupnya membuktikan bahwa apa yang telah dicapainya telah membuahkan kebaikan bagi keturunan Saul yang telah menyakitinya.
Kisah Daud ini mengingatkan kita bahwa ketika kita menghadapi ketidak-adilan, kita tidak perlu memaksakan keadilan kita sendiri; kita dapat mempercayai Tuhan untuk menegakkan keadilan-Nya dan menjaga hidup kita tetap bersih dan berkenan kepada-Nya. Kiranya Tuhan menolong kita.